KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan
kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita dan tak
lupa pula kita mengirim salam dan salawat kepada baginda Nabi Besar Muhammad
SAW yang telah membawakan kita suatu ajaran yang benar yaitu agama Islam,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Implementasi Iman dan
Takwa dalam Kehidupan Modern” ini dengan
lancar.
Makalah
ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang kami peroleh dari
berbagai sumber yang berkaitan dengan agama islam serta infomasi dari media
massa yang berhubungan dengan agama islam, tak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada pengajar matakuliah Pendidikan Agama Islam atas bimbingan dan arahan
dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Kami
harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam
hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai implementasi iman dan takwa dalam
kehidupan modern, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari
sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan menuju arah yang lebih baik.
JAKARTA, Desember 2011
Penulis
Kelompok 5
Penulis
Kelompok 5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Implementasi Iman Dan Taqwa Dalam Kehidupan Modern
BAB II
MASALAH
2.1 Rumusan Masalah
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian iman dan taqwa
3.2 Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern
3.3 Hubungan timbal balik antara taqwa dan iman
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Implementasi Iman Dan Taqwa Dalam Kehidupan
Modern
Aktualisasi
taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu pentingnya
taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia ini sehingga
beberapa syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai wujud pembentukan
diri seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih sering lagi
setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu menganjurkan jamaah
untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa dalam kehidupan
beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang diharapkan dari tujuan
hidup manusia (ibadah).
Taqwa
adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim.
Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi
pembeda dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah
refleksi iman seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti
binatang, jin dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap
taqwa, karena binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana
beriman kepada Allah yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara
sederhana adalah “percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara
manusia dengan makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah
mengucapkan dua kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya
dengan bertaqwa dalam arti menjalankan
segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan dia juga tidak mau
terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan kesibukannya atau asumsi
pribadinya yang mengaggap eksistensi syariat agama sebagai pembatasan
berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia, kendatipun dia beragama akan
tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas pelengkap dalam kehidupan
sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang akan tetapi
kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena manusia dibekali akal yang
dengan akal tersebut manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga pada
akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud implementasi dari keimanannya.
Taqwa
adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang aplikasinya
berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang muslim yang
bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan menjauhi
segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan sekarang
adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba mudah, serba
bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan umat islam
selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi sangat
menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang mendukung.
Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu yang
kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup
mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu mewujudkan satu
konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap taqwa sebagai
tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun. Karena
realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang berbentuk
syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti himbauan
khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa faktor,
diantaranya yang pertama muslim yang
bersangkutan belum paham betul makna dari taqwa itu sendiri, sehingga membuatnya
enggan untuk memulai, dan yang kedua ketidaktahuannya tentang bagaimana,
darimana dan kapan dia harus mulai merilis sikap taqwa, kemudian yang ketiga
kondisi sosial dimana dia hidup tidak mendukung dirinya dalam membangun sikap
taqwa, seperti saat sekarang kehidupan yang serba bisa dan cenderung serba
boleh. Oleh karenanya setiap individu muslim harus paham pos – pos alternatif
yang harus dilaluinya, diantaranya yang paling awal dan utama adalah gadhul
bashar (memalingkan pandangan), karena pandangan (dalam arti mata dan telinga)
adalah awal dari segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap
oleh panca indera kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota
tubuh dan akhirnya berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika
penglihatan atau pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang
dilarang agama maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor maka
pikiran (akal) juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi kehidupan
nyata, dan jika prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit mencapai
sikap taqwa. Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural ini
dirasa perlu menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal
yang dilarang agama sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi muslim
yang bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal
yang dilarang agama, menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan besar dalam
memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh
dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa
kepada kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai
sesuatu yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan
setelah kematian menjadikan taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam
kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan
mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih
diri untuk terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya,
karena arti taqwa itu sendiri
sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin Al-Mahally dalam tafsirnya
bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi wajtinabinnawahih”, menjalankan
segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganya.
BAB II
MASALAH
2.1 Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian Iman dan Taqwa?
2. Bagaimana Problematika tantangan dan
resiko dalam kehidupan modern?
3. Hubungan
timbal balik antara Taqwa dan Iman ?
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian iman dan taqwa
Pengertian Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut istilah
syari’at yaitu meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan
membuktikannya dalam amal perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga hingga
tujuh puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah ucapan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan yang menggangu orang yang sedang berjalan,
baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan sesuatu yang berbau tak sedap
atau semisalnya. Iman merupakan perpaduan antara aqidah dengan syariah atau perpaduan
keyakinan dan amal dan perbuatan,tetapi jika tidak melaksanakan ketentuan Allah
dan rasulnya maka orang itu belum bias dikatakan beriman.
Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Iman
lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang, paling utamanya perkataan dan
yang paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan
cabang dari keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi:
2614). Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup
seluruh bentuk amal kebaikan yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang.
Karena itu Allah menggolongkan dan menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman
dalam firmanNya, ”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” (QS.
Al-Baqarah:143). Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ’imanmu’ adalah
shalatmu tatkala engkau menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum turun
perintah shalat menghadap ke Baitullah (Ka’bah) para sahabat mengahadap ke
Baitul Maqdis.
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada)
yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari
sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para
makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk,
Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya
apa yang dikehendakiNya. Beriman kepada Allah juga bisa diartikan, berikrar
dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal
dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa
ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
1. Beriman akan adanya Allah. Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
(a). Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan
Tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah
ini tidak akan berubah kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya.
Nabi Shallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Tidaklah anak itu lahir melainkan
dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanya lah yang menjadikan mereka Yahudi,
Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhori). Bahwa makhluk tersebut tidak muncul
begitu saja secara kebetulan, karena segala sesuatu yang wujud pasti ada yang
mewujudkan yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah berfirman, ”Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)?” (QS. Ath-Thur: 35)
Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang
menciptakan dan tidak mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti
mereka pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah yang maha suci.
(b). Adannya kitab-kitab samawi
Yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula hukum
serta aturan dalam kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi
kemaslahatan manusia menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa
(c). Adanya orang-orang yang dikabulkan do’anya.
Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, ini
menjadi bukti-bukti kuat adanya Allah.
(d). Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan yang
disebut mukjizat
suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang tidak
lain Dia adalah Allah Azza wa Jalla. Misalnya: Mukjizat nabi Musa ’Alahissalam.
Tatkala belau diperintah memukulkan tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah
lautan tersebut menjadi dua belas jalan yang kering dan air di antara
jalan-jalan tersebut laksana gunung. Firman Allah, ”Lalu kami wahyukan
kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan
itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar” (QS.
Asy-Syu’ara’: 63)
Pengertian TAQWA secara dasar adalah Menjalankan
perintah, dan menjauhi larangan. Kepada siapa ??? maka dilanjukan dengan
kalimat Taqwallah yaitu taqwa kepada Allah SWT. Kelihatan kata-kata tersebut
ringan diucapkan tapi kenyataan-nya banyak orang yang belum sanggup bahkan
terkesan asal-asalan dalam menerapkan arti kata Taqwa tersebut, lihat sekitar
kita ada beberapa orang yang tidak berpuasa dan terang-terangan makan di tempat
umum, padahal bila ditanya ” mas, agama-nya apa?” jawab-nya muslim, ada juga
yang sudah berpuasa tapi masih suka melirik kanan-kiri dan ketika ditanya ”
mas, ini kan lagi puasa?” jawabnya cuma sebentar kan boleh. Ya… Allah,
manusia…, manusia.., sebenarnya banyak contoh bagaimana lingkungan di sekitar
kita atau mungkin diri saya pribadi masih belum mampu mengemban amanah
Taqwallah dengan sepenuhnya.
TAQWA = Terdiri dari 3 Huruf :
Ta = TAWADHU’ artinya sikap rendah dirii (hati), patuh,
taat baik kepada aturan Allah SWT, maupun kepada sesama muslim jangan
menyombongkan diri.
Qof = Qona’ah artinya Sikap menerima apa adanya (ikhlas), dalam
semua aspek, baik ketika mendapat rahmat atau ujian, barokah atau musibah,
kebahagiaan atau teguran dari Allah SWT, harus di syukuri dengan hati yang
lapang dada.
Wau = Wara’ artinya Sikap menjaga hati / diri (Introspeksi),
ketika menemui hal yang bersifat subhat (tidak jelas hukum-nya) atau yang
bersifat haram (yang dilarang) oleh Allah SWT. beberapa ulama mendifinisikan
dengan :
Taqwa = dari kata = waqa-yaqi-wiqayah = memelihara yang
artinya memelihara iman agar terhindar dari hal-hal yang dibenci dan dilarang
oleh Allah SWT.
Taqwa = Takut yang artinya takut akan murka da adzab allah SWT.
Taqwa = Menghindar yang artinya menjauh dari segala keburukan
dan kejelekan dari sifat syetan.
Taqwa = Sadar yang artinya menyadari bahwa diri kita makhluk
ciptaan Allah sehingga apapun bentuk perintah-nya harus di taati, dan jangan
sekali-kali menutup mata akan hal ini. “Hai Orang-orang beriman
bertaqwalah kamu kepada Allah, dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian
mati, melainkan dalam keadaan beragama islam.” (Al-Imron) :
Dr. Abdullah Nashih Ulwan menyebut ada 5 langkah yang dapat
dilakukan untuk mencapai taqwa, iaitu ;
a. Mu’ahadah Mu’ahadah
berarti selalu mengingat perjanjian kepada Allah swt., bahawa
dia akan selalu beribadah kepada Allah swt. Seperti merenungkan
sekurang-kurangnya 17 kali dalam sehari semalam dia membaca ayat surat Al
Fatihah : 5 “Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami
mohon pertolongan”
b. Muraqabah Muraqabah
berarti merasakan kebersamaan dengan Allah swt. dengan selalu
menyedari bahawa Allah swt. selalu bersama para makhluk-Nya dimana saja dan
pada waktu apa sahaja. Terdapat beberapa jenis muraqabah, pertamanya muraqabah
kepada Allah swt. dalam melaksanakan ketaatan dengan selalu ikhlas kepadaNya.
Kedua muraqabah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan
meninggalkannya secara total. Ketiga, muraqabah dalam hal-hal yang mubah adalah
dengan menjaga adab-adab kepada Allah dan bersyukur atas segala nikmatNya.
Keempat muraqabah dalam mushibah adalah dengan redha. atas ketentuan Allah
serta memohon pertolonganNya dengan penuh kesabaran.
c. Muhasabah
Muhasabah sebagaimana yang ditegaskan dalam Al Quran surat Al
Hasyr: 18, “Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan
hendaklah merenungkan setiap diri, apalah yang telah diperbuatnya untuk hari
esok. Dan takwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa
jua pun yang kamu kerjakan”
Ini bermakna hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya tatkala
selesai melakukan amal perbuatan, apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan
redha. Allah? Atau apakah amalnya dicampuri sifat riya? Apakah ia sudah
memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia.
d. Mu’aqabah Mu’aqabah
ialah memberikan hukuman atau denda terhadap diri apabila
melakukan kesilapan ataupun kekurangan dalam amalan. Mu’aqabah ini lahir
selepas Muslim melakukan ciri ketiga iaitu muhasabah. Hukuman ini bukan
bermaksud deraan atau pukulan memudaratkan, sebaliknya bermaksud Muslim yang
insaf dan bertaubat berusaha menghapuskan kesilapan lalu dengan melakukan
amalan lebih utama meskipun dia berasa berat.dalam Islam, orang yang paling
bijaksana ialah orang yang sentiasa bermuhasabah diri dan melaksanakan amalan
soleh.
e. Mujahadah
Makna mujahadah sebagaimana disebutkan dalam surat Al Ankabut
ayat 69 adalah apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta
dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya
tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah
lebih banyak dari sebelumnya. Dalam hal ini ia harus tegas, serius dan penuh
semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia baginya
dan menjadi sikap yang melekat dalam dirinya. Sebagai penutup, Allah swt. telah
berfirman dalam Al-Quran yang bermaksud: “Wahai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan
janganlah kamu mati melainkan di dalam keadaan Islam”. (‘Ali Imran:
102)
3.2 Problematika tantangan dan
resiko dalam kehidupan modern
Problem-problem
manusia dalam kehidupan modern adalah munculnya dampak negatif (residu), mulai
dari berbagai penemuan teknologi yang berdampak terjadinya pencemaran
lingkungan, rusaknya habitat hewan maupun tumbuhan, munculnya beberapa
penyakit, sehingga belum lagi dalam peningkatan yang makro yaitu berlobangnya
lapisan ozon dan penasan global akibat akibat rumah kaca.
Manusia
tidak mampu lari seperti kuda dan mengangkat benda-benda berat seperti sekuat
gajah, namun akal manusia telah menciptakan alat yang melebihi kecepatan kuda
dan sekuat gajah. Kelebihi manusia dengan mahkluk lain adalah dari Akalnya.
Sedangkan dalam bidang ekonomi kapitalisme-kapitalisme yang telah melahirkan
manusia yang konsumtif, meterialistik dan ekspoloitatif.
Aktualisasi
taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu pentingnya
taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia ini sehingga
beberapa syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai wujud pembentukan
diri seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih sering lagi
setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu menganjurkan jamaah
untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa dalam kehidupan
beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang diharapkan dari tujuan
hidup manusia (ibadah).
Taqwa
adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim.
Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi
pembeda dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah
refleksi iman seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti
binatang, jin dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap
taqwa, karena binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana
beriman kepada Allah yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara
sederhana adalah “percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara
manusia dengan makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah
mengucapkan dua kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya
dengan bertaqwa dalam arti menjalankan
segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan dia juga tidak mau
terikat dengan segala aturan agamanya dikarenakan kesibukannya atau asumsi
pribadinya yang mengaggap eksistensi syariat agama sebagai pembatasan
berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia, kendatipun dia beragama akan
tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas pelengkap dalam kehidupan
sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang akan tetapi
kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena manusia dibekali akal yang
dengan akal tersebut manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga pada
akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud implementasi dari keimanannya.
Taqwa
adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang aplikasinya
berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang muslim yang
bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan menjauhi
segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan sekarang
adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba mudah, serba
bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan umat islam
selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi sangat
menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam
terdahulu yang kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu
yang cukup mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu
mewujudkan satu konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap
taqwa sebagai tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun.
Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang
berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti
himbauan khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa
faktor, diantaranya yang pertama muslim
yang bersangkutan belum paham betul makna dari taqwa itu sendiri, sehingga
membuatnya enggan untuk memulai, dan yang kedua ketidaktahuannya tentang
bagaimana, darimana dan kapan dia harus mulai merilis sikap taqwa, kemudian
yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup tidak mendukung dirinya dalam
membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang kehidupan yang serba bisa dan
cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap individu muslim harus paham pos –
pos alternatif yang harus dilaluinya, diantaranya yang paling awal dan utama
adalah gadhul bashar (memalingkan pandangan), karena pandangan (dalam arti mata
dan telinga) adalah awal dari segala tindakan, penglihatan atau pendengaran
yang ditangkap oleh panca indera kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan
oleh anggota tubuh dan akhirnya berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam
taqwa, jika penglihatan atau pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti
sesuatu yang dilarang agama maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati
sudah kotor maka pikiran (akal) juga ikut kotor, dan ini berakibat pada
aktualisasi kehidupan nyata, dan jika prilaku, pikiran dan hati sudah kotor
tentu akan sulit mencapai sikap taqwa. Oleh karenanya dalam situasi yang serba
bisa dan sangat plural ini dirasa perlu menjaga pandangan (dalam arti mata dan
telinga) dari hal – hal yang dilarang agama sebagai cara awal dan utama dalam
mendidik diri menjadi muslim yang bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran,
hati dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang agama, menjadikan seorang muslim
memiliki kesempatan besar dalam memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah
sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh dalam mengarungi kehidupan dunia yang
fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa kepada kehidupan akhirat yang kekal dan
pasti adanya. Adanya kematian sebagai sesuatu yang pasti dan tidak dapat
dikira-kirakan serta adanya kehidupan setelah kematian menjadikan taqwa sebagai
obyek vital yang harus digapai dalam kehidupan manusia yang sangat singkat ini.
Memulai untuk bertaqwa adalah dengan mulai melakukan hal-hal yang terkecil
seperti menjaga pandangan, serta melatih diri untuk terbiasa menjalankan
perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, karena arti taqwa itu
sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam
Jalaluddin Al-Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu
awamrillahi wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi
segala laranganya.
Problem dalam
Hal Ekonomi
Semakin lama manusia semakin menganggap bahwa dirinya
merupakan homo economicus, yaitu merupakan makhluk yang memenuhi kebutuhan
hidupnya dan melupakan dirinya sebagai homo religious yang erat dengan kaidah –
kaidah moral.Ekonomi
kapitalisme materialisme yang menyatakan bahwa berkorban sekecil – kecilnya
dengan menghasilkan keuntungan yang sebesar – besarnya telah membuat manusia
menjadi makhluk konsumtif yang egois dan serakah (saya sendiri mengakuinya).
Problem dalam
Bidang Moral
Pada hakikatnya Globalisasi adalah sama halnya dengan
Westernisasi. Ini tidak lain hanyalah kata lain dari
penanaman nilai – nilai Barat yang menginginkan lepasnya ikatan – ikatan nilai
moralitas agama yang menyebabkan manusia Indonesia pada khususnya selalu
“berkiblat” kepada dunia Barat dan menjadikannya sebagai suatu symbol dan tolok
ukur suatu kemajuan.
Problem dalam
Bidang Agama
Tantangan agama dalam kehidupan modern ini lebih
dihadapkan kepada faham Sekulerisme yang menyatakan bahwa urusan dunia
hendaknya dipisahkan dari urusan agama. Hal yang demikian akan menimbulkan apa
yang disebut dengan split personality di mana seseorang bisa berkepribadian
ganda. Misal pada saat yang sama seorang yang rajin beribadah juga bisa menjadi
seorang koruptor.
Problem dalam
Bidang Keilmuan
Masalah yang paling kritis dalam bidang keilmuan
adalah pada corak kepemikirannya yang pada kehidupan modern ini adalah menganut
faham positivisme dimana tolok ukur kebenaran yang rasional, empiris,
eksperimental, dan terukur lebih ditekankan. Dengan kata lain sesuatu dikatakan
benar apabila telah memenuhi criteria ini. Tentu apabila direnungkan kembali
hal ini tidak seluruhnya dapat digunakan untuk menguji kebenaran agama yang
kadang kala kita harus menerima kebenarannya dengan menggunakan keimanan yang
tidak begitu poluler di kalangan ilmuwan – ilmuwan karena keterbatasan rasio manusia
dalam memahaminya. Anda merasakan itu?
Perbedaan metodologi yang lain bahwa dalam keilmuan
dikenal istilah falsifikasi. Apa itu? Artinya setiap saat kebenaran yang sudah
diterima dapat gugur ketika ada penemuan baru yang lebih akurat. Sangat jauh dan
bertolak belakang dengan bidang keagamaan.Jika anda tidak salah lihat, maka
akan banyak anda temukan banyak ilmuwan yang telah menganut faham atheis (tidak
percaya adanya tuhan) akibat dari masalah – masalah dalam bidang keilmuan yang
telah tersebut di atas.
Kalau bersama – sama kita telah melihat sebagian kecil
dari beberapa bagian besar problematika dalam kehidupan kita saat ini, apa yang
sebaiknya menjadi solusi bersama dalam meningkatkan ketahanan tubuh Negara kita
terhadap prediksi – prediksi kehancuran moral bangsa Indonesia akibat dari
kekurang selektifan kita terhadap apa yang namanya Westernisasi?
3.3 Hubungan
timbal balik antara taqwa dan iman
Iman dan taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama. Keduanya
merupakan elemen yang penting dalam kehidupan makhluq manusia dan sangat erat
hubungannya dalam menentukan nasib hidupnya serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan suatu makna yang
terkandung dalam lubuk hati, menurut para teolog, iman itu adalah kepercayaan
yang tertanam dalam lubuk hati dengan keyakinan yang kuat tanpa tercampuri oleh
keraguan dan berperan terhadap pendangan hidup atau amal perbuatan sehari-hari.
Sedangkan menurut berbagai filosof, iman diartikan lebih jauh dari lafidz dan
makna serta tidak terikat dengan dalil-dalil apologis. Misalnya Karl Teodor
Yoeper seorang filosof Jerman mengetengahkan istilah iman falsafi yang
universil yang berlaku untuk semua zaman dan kebudayaan. Isi iman falsafi
baginya, bahwa Allah itu ada, manusia harus mampu memilih memilih yang baik
secara tak bersarat, dunia tidak merupakan kenyataan terakhir dan bahwa cinta
kasih manusia merupakan suatu bukti adanya Allah. Semua pengertian-pengertian
yang dikemukakan diatas pada dasarnya menunjukkan, bahwa iman itu berperanan
dan berpengaruh terhadap tindak laku manusia dalam segala aspek kahidupan
manusia.
Menurut filosof islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat spiritual atau batin,
dimana hati dapat menangkap iman dalam pengertian hakiki melalui kasyaf yang
diperoleh berkat pancaran sinar Ilahi padanya. Dalam kesempatan lain beliau
menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan yang kuat tidak ada pembuat (faa`il)
selain Allah. Makna iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis,
diantaranya membatasi sebab pembuat (illah faa`iliyah) hanya kepada
Allah, manafikan kebebasan berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal)
kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid, sebab
artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selai
Allah. Dialah
pembuat satu-satunya dan selain-Nya hanya sekedar washilah (perantara). Hukumnya
perantara itu dalam tinjauan filsafat juga sebab, namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan
kepada Kholiq (Pencipta). Oleh karena itu bagi orang yang meng-Esakan Allah
harus bersikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan ikhtiar, tetapi
maniadakan kebebasan berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia berkesempatan
untuk kasab (berusaha). Bahkan dengan tawakkal itu dapat
mengenal hakekat ikhtiar dan sekaligus dapat mengetahui nilai dan kualitas
iman. Iman yang sebenarnya harus membuahkan tawakkal, sehingga dapat memperoleh
ridho Allah. Dalam kitab suci dikemukakan, bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan tang
lainya telah menjadikan tawakkal sebagai benteng kekuatan bertaqwa dalam
menghadapi kaumnya. Ini semua menunjukkan, bahwa antara iman dan taqwa saling
berpengaruh dalam membentuk membentuk manusia berkepribadian luhur.
Taqwa itu pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir, baik yang bersifat
mengikuti perintah Tuhan maupun amal yang berbentuk menjauhi larangan Tuhan.
Yang menjadi problema apakah unsur amal itu menjadi syarat iman, dengan
pengertian, bahwa apakah tanpa amal seseoran tidak dianggap beriman. Iman
adalah sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa (Ma waqaro fil qalbi). Berdasarkan
eksperimen sebagian besar ahli jiwa berkesimpulan, bahwa iman kepada Allah
termasuk obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit jiwa atau menghilangkan
gangguan jiwa. Kesimpulan inin diperkuat oleh filosof-silosof besar diantaranya
Francis Bacon, William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut filosof
Islam Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman kepada Allah menumbuhkan keteguahan
pendirian dalam menghadapi kesulitan dan bahaya, bahkan mampu untuk membentuk
kerelaan dan meninggalkan kemewahan hidup, manakala ada seruan untuk bejuang
dijalan Allah. Dalam Islam pengaruh iman diantaranya rasa tawakkal (Ali Imron:
160). Tawakkal dalam tinjauan tasawuf ini harus seiring dengan kesabaran.
Keberhasilan manusia tidak mungkin sepenuhnya dari usaha sendiri. Sedangkan
kecil dan tidaknya ditentukan oleh berbagai faktor diluar kemampuannya.
Faktor-faktor itu adalah sebab keberhasilan. Banyak akibat yang sebabnya
bermacam-macam dan sebaliknya, banyak sebab yang akibatnya bermacam-macam.
Banyak akibat yang sulit diketahui sebabnya dan banyak sebab yang sulit
diketahui akibatnya. Dalam situasi diatas sikap tawakkal sangat diperlukan.
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung dan
bukan hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah
penciptaan ini telah dijelaskan dalam firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka
dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah
Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS. 51:56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan asasi
dari penciptaan manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat syirik.
Sehingga Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok manusia
yang belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka diciptakan tanpa satu
tujuan tertentu dalam firmanNya :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ
Artinya : Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan
kepada Kami. (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak diciptakan
secara main-main saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah tidak
menjadikan manusia hanya untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan
perhiasan dunia, serta tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya
didunia ini. Tentu saja jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu
himah dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan
pengharaman, untuk kemudian dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa
atas keburukan (yang dia amalkan) serta (mendapatkan) syurga atau neraka.
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat
bersikap profesional dan proforsonal dalam mencapai tujuan tersebut, sebab
sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada
Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan
paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan
dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua hal:
1.
I’tishom bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat
Allah dan berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga
dengan ini kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa
perkara yang berikutnya, yaitu;
2.
I’tishom billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah
diri serta memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan
mewujudkan yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari
rintangan mengamalkannya.
Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu, pasti
membutuhkan dua hal, pertama, pengetahuan tentang tujuan tersebut dan bagaimana
cara mencapainya dan kedua, selamat dari rintangan yang menghalangi terwujudnya
tujuan tersebut.
Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: Poros kebahagian duniawi dan
ukhrowi ada pada I’tishom billahi dan I’tishom bihablillah dan tidak ada
kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen dengan dua hal ini. Sedangkan
I’tishom bi hablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan I’tishom billahi
melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan mencapai
(keridhoan) Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan menuju
tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam perjalanan,
sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini.
Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan menunjukinya
kejalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi alat keselamatan
dari para perampok dan halangan perjalanan. I’tishom bi hablillah memberikan
hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang I’tishom billah memberikan
kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab keselamatannya di
perjalanan.
Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita
masing-masing sehingga menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal,
mengetahui dan mengamalkan ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok
setiap muslim. Agar dapat mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan
keahlian dan kemampuan kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan
takwa kita semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil faedah
dan pengetahuan tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat yang
Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah makhluk
yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan maha
mengatur mereka.
Hubungan manusia dengan lingkungan
hidup
Bagi insan yang bertaqwa, kita harus
memandang alam dari empat segi,yaitu: 1. Apresiasi 2. Kreatif 3. Proaktif 4.
Produktif.
Peran iman dan taqwa di dalam problem dan
tantangan kehidupan moderen
Adalah suatu masalah besar
yang harus di hadapi oleh setiap orang (Manusia) karna seperti yang kita lihat
selama ini semakin bertambahnya Zaman pasti akan ada perubahan! baik dalam segi
moral, agama, budaya, maupun dalam segi sosial kehidupan di dalam masyarakat.
Dan yang paling utama dalam segi agama, kepercayaan dan keyakinan sehingga
dalam segi iman dan taqwapun berkurang.
Peranan Iman dan Taqwa dalam Menjawab Problema dan
Tantangan Kehidupan Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar.
Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan
manusia.
1.
Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.
Orang yang beriman hanya percaya
pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kepercayaan dan keyakinan demikian
menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang
kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat,
mengikis kepercayaan pada khurafat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya.
Pegangan orang yang beriman adalah surat al-Fatihah ayat 1-7.
2.
Iman menanamkan semangat berani menghadap maut.
Orang yang beriman yakin
sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman mengenai soal
hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS. an-Nisa/4:78.
3.
Iman menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
Rezeki atau mata pencaharian
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. manusia tidak segan-segan
melepaskan prinsip, menjual kehormatan dan bermuka dua, menjilat dan
memperbudak diri untuk kepentingan materi. Pegangan orang beriman dalam hal ini
ialah firman Allah dalam QS. Hud/11:6.
4.
Iman memberikan ketenteraman jiwa.
Orang yang beriman mempunyai
keseimbangan, hatinya tenteram (mutmainnah), dan jiwanya tenang (sakinah),
seperti dijelaskan dalam firman Allah surat ar-Ra’d/13:28.
5.
Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
Kehidupan manusia yang baik
adalah kehidupan orang yang selalu menekankan kepada kebaikan dan mengerjakan
perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS.
an-Nahl/16:97.
6.
Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas,
tanpa pamrih, kecuali keridhaan Allah. Orang yang beriman senantiasa konsekuen
dengan apa yang telah diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun dengan
hatinya. Ia senantiasa berpedoman pada firman Allah dalam QS. al-An’am/6:162
7.
Iman memberi keberuntungan
Allah membimbing dan mengarahkan
pada tujuan hidup yang hakiki. Dengan demikian orang yang beriman adalah orang
yang beruntung dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS.
al-Baqarah/2:5.
8. Iman mencegah penyakit
Akhlak, tingkah laku, perbuatan
fisik seorang mukmin, atau fungsi biologis tubuh manusia mukmin dipengaruhi
oleh iman. Hal itu karena semua gerak dan perbuatan manusia mukmin, baik yang
dipengaruhi oleh kemauan, seperti makan, minum, berdiri, melihat, dan berpikir,
maupun yang tidak dipengaruhi oleh kemauan, seperti gerak jantung, proses
pencernaan, dan pembuatan darah, tidak lebih dari serangkaian proses atau
reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Organ-organ tubuh yang melaksanakan
proses biokimia ini bekerja di bawah perintah hormon. Kerja bermacam-macam
hormon diatur oleh hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofise yang terletak
di samping bawah otak. Pengaruh dan keberhasilan kelenjar hipofise ditentukan
oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa manusia semenjak ia masih berbentuk zigot
dalam rahim ibunya. Dalam hal ini iman mampu mengatur hormon dan
selanjutnya membentuk gerak, tingkah laku, dan akhlak manusia.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Iman dan taqwa sangat penting di kehidupan modern, jika dalam
kehidupan modern yang serba canggih tidak menghiraukan lagi keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah maka akan banyak timbul problem dan tantangan yang
terjadi, baik dibidang ekonomi, social, agama, maupun keilmuan itu sendiri.
Iman dan taqwa juga mempunyai peran penting dalam
kehidupan dunia modern, dalam kehidupan modern yang serba cepat sering kali
memicu timbulnya stress dan berbagai penyakit. Iman dan taqwa mempunyai peran
antara lain:
1) Iman dan taqwa melenyapkan kepercayaan
pada kekuasaan benda,
2) Iman dan taqwa menanamkan semangat berani
menghadap maut
3) Iman dan taqwa menanamkan sikap
“self-help” dalam kehidupan.
4) Iman dan taqwa memberikan ketenteraman
jiwa.
5) Iman dan taqwa mewujudkan kehidupan yang
baik (hayatan tayyibah).
6) Iman dan taqwa melahirkan sikap ikhlas
dan konsekuen.
7) Iman dan taqwa memberi keberuntunganIman
mencegah penyakit
Iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan
dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Iimaanu ‘aqdun bil
qalbi waiqraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman
merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan,
serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.
Sedangkan takwa adalah menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu
yang ditakuti, kemudian rasa takut juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam
istilah syar’I adalah menjaga diri dari perbuatan dosa.
Dapat
disimpulkan, bahwa peran iman, diantaranya menghilangkan gangguan jiwa, menumbuhkan keteguahan pendirian,
menumbuhkan kekuatan pengendali hawa nafsu, menumbuhkan tawakkal, menciptakan
tekat berbuat baik dan berperan menciptakan rasa cinta dan bahagia. Pegaruh kekuatan iman melahirkan
akhlak dan moral dalam kehidupan manusia, seperti jujur, adil dala segala
situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat berat, ditegakkan kebenaran
sekalipun berakibat merugikan dirinya dan keluarganya, bersikap adil terhadap
lawan sebagaimana bersikap adil di tengah-tengah kawan, masih banyak lagi
norma-norma luhur yang dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh karena itu sangat patut sekali apabila
dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah kunci pengalaman nilai-nilai luhur.
DAFTAR PUSTAKA
v Imtihana,aida.dkk.2009.Buku
Ajar Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi Umum.Palembang:Universitas Sriwijaya.
v Labay,Mawardi.2000.Zikir dan
Do’a Iman Pengaman Dunia.Jakarta:Al Mawardi Prima
v
“IMAN DAN TAQWA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT”, Oleh: Prof. DR.
K. H. Achmad Mudlor, SH.
v http://meyheriadi.blogspot.com/2011/02/pengertian-iman-dan-taqwa.html (Online ) Di Akses
Tanggal 17 oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar